Kamis, 13 Oktober 2016

HAMBATAN ATMOSFER YANG BERKAITAN DENGAN PENGINDRAAN JAUH




Hambatan yang besar muncul di dalam atmosfer yang rapat, dan satelit dengan perigee dibawah ~120 km memiliki kala hidup yang pendek. Disisi lain, satelit pada ketinggian diatas 600 km, hambatan atmosfernya lemah dimana satelit biasanya bertahan pada orbitnya lebih dari kala hidup operasional satelit. Pada ketinggian ini, gangguan periode orbit sangat kecil sehingga kita bisa dengan mudah menghitungnya tanpa pengetahuan yang tepat mengenai kerapatan atmosfer. Di ketinggian menengah, dua variabel kasar dari sumber energi menyebabkan variasi yang besar dalam kerapatan atmosfer dan menimbulkan gangguan orbit. Variasi ini dapat diprediksi dengan dua model empiris:

Hambatan yang besar muncul di dalam atmosfer yang rapat, dan satelit dengan perigee dibawah ~120 km memiliki kala hidup yang pendek. Disisi lain, satelit pada ketinggian diatas 600 km, hambatan atmosfernya lemah dimana satelit biasanya bertahan pada orbitnya lebih dari kala hidup operasional satelit. Pada ketinggian ini, gangguan periode orbit sangat kecil sehingga kita bisa dengan mudah menghitungnya tanpa pengetahuan yang tepat mengenai kerapatan atmosfer. Di ketinggian menengah, dua variabel kasar dari sumber energi menyebabkan variasi yang besar dalam kerapatan atmosfer dan menimbulkan gangguan orbit. Variasi ini dapat diprediksi dengan dua model empiris: Mass Spectometer Incoherent Scatter (MSIS) dan model Jacchia [Hedin,1986; Jacchia,1977]. Ketinggian diantara 120 dan 600 km termasuk dalam termosfer Bumi, daerah diatas 90 km dimana absorpsi Radiasi Ultraviolet Ekstrim (EUV) dari Matahari menghasilkan penurunan temperatur terhadap ketinggian dalam laju yang sangat cepat. Pada ketinggian ~200-250 km, temperatur ini mendekati nilai batas, dinamakan dengan temperatur eksosfer, dimana nilai rata-ratanya berada pada rentang diantara ~600 dan 1200 K selama siklus Matahari. Termosfer mungkin juga mengalami pemanasan yang kuat dari aktivitas geomagnet, yang merupakan transfer energi dari magnetosfer dan ionosfer. Pemanasan termosfer menurunkan kerapatan atmosfer dikarenakan pemuaian termosfer menyebabkan penurunan tekanan pada ketinggian yang bersangkutan. Pemanasan selama radiasi ultraviolet ekstrim dan variasi siklus Matahari mempunyai pengaruh yang besar terhadap kala hidup satelit. Badai Geomagnet biasanya terlalu singkat untuk mempengaruhi kala hidup satelit secara signifikan. Radiasi ultraviolet ekstrim dari Matahari diserap secara sempurna oleh atmosfer sebelum menyentuh permukaan Bumi dan itu tidak dihitung secara berkala oleh instrumen bawaan satelit; konsekuensinya, pengaruh terhadap satelit tidak dapat diprediksikan. Aktivitas Matahari dipantau menggunakan semacam indeks seperti bilangan sunspot dan indeks F10.7 yang sebelumnya didiskusikan. Kerapatan diperoleh dari model atmosfer MSIS [Hedin,1986]. Dibawah 150 km, kerapatan tidak terlalu dipengaruhi oleh aktivitas Matahari. Bagaimanapun, pada ketinggian satelit dalam rentang 500 sampai 800 km, variasi kerapatan diantara aktivitas Matahari maksimun dan aktivitas Matahari minimum menunjukan perbedaan yang besarnya mendekati orde 2. Variasi yang besar dalam kerapatan menyatakan secara tidak langsung bahwa satelit akan jatuh lebih cepat selama periode aktivitas Matahari maksimum dan lebih lambat selama aktivitas Matahari minimum. Kami mengasumsikan bahwa seluruh satelit yang diluncurkan dalam orbit lingkaran sempurna pada ketinggian 700 km- tahun 1956 tiga satelit diluncurkan pada permulaan aktivitas Matahari maksimum, tahun 1959 tiga satelit diluncurkan menjelang akhir dari aktivitas Matahari maksimum, dan tahun 1962 tiga satelit diluncurkan mendekati waktu aktivitas Matahari minimum. Dalam setiap kelompok, masing-masing satelit memiliki koefisien balistik yaitu 20 kg/m2, 60 kg/m2 dan 200 kg/m2. Sejarah dari 9 satelit ini ditunjukan pada grafik. Satelit jatuh sangat lambat selama aktivitas Matahari minimum, kemudian sangat cepat selama aktivitas Matahari maksimum. untuk satu satelit, setiap periode aktivitas Matahari maksimum akan menghasilkan kejatuhan yang besar dibandingkan saat aktivitas Matahari maksimum sebelumnya karena satelit mengalami pelemahan. Hal ini tentu akan terjadi bergantung pada tingkat aktivitas Matahari maksimum tertentu. Pengaruh dari aktivias Matahari maksimum juga akan bergantung pada koefisien balistik satelit. Satelit dengan koefisien balistik yang rendah akan bereaksi dengan cepat terhadap atmosfer dan akan cenderung jatuh dengan segera. Satelit dengan koefisien balistik yang tinggi akan mendorong melewati nilai yang besar dari siklus Matahari dan akan jatuh lebih lambat. Perlu dicatat bahwa waktu satelit jatuh menghasilkan perhitungan yang lebih baik dalam siklus matahari dibandingkan dalam tahun. 9 satelit tersebut seluruhnya jatuh selama periode aktivitas Matahari maksimum. Untuk rentang koefesien balistik yang ditunjukan, kala hidup bervariasi dari yang mendekati setengah siklus Matahari (5 tahun) hingga 17 siklus Matahari (190 tahun). Untuk memprediksikan dimana satelit akan jatuh benar-benar sulit. Dibawah ketinggin 200 km, satelit yang mengorbit jatuh dalam beberapa hari, kerapatan atmosfer sebagian besar bebas dari pengaruh sikus Matahari, dan kurva di bagian atas dan bawah untuk setiap koefisien mulai menyatu. Dilihat dari kala hidup satelit pada setengah siklus Matahari (mendekati 5 tahun), terdapat perbedaan yang sangat besar diantara satelit yang diluncurkan pada permulaan aktivitas Matahari minimum (kurva atas) dan yang diluncurkan pada permulaan aktivitas Matahari maksimum (kurva bawah). Juga perhatikan bahwa perbedaan diantara kurva aktivitas Matahari maksimum dan aktivitas Matahari minimum lebih besar untuk satelit dengan koefisien balistik yang rendah seperti yang sudah kita prediksikan. Setelah setengah siklus Matahari, satelit di kurva atas dari setiap pasangan akan menyentuh aktivitas Matahari maksimum dan kurva akan menjadi lebih datar. Perbedaan terdapat pada kurva bawah yang akan menyentuh aktivitas Matahari minimum dan akan hampir berhenti jatuh sedemikian sehingga kurva menjadi hampir vertikal. Pola osilasi ini berlanjut dengan frekuensi 11 tahunan siklus Matahari yang dapat dilihat dibagian atas kurva. Pada akhirnya di ketinggian yang tinggi dan kala hidup yang panjang, kurva menyatu karena satelit akan melihat jumlah yang besar dari siklus Matahari dan akan membuat perbedaan yang sangat kecil ketika satelit diluncurkan, tentunya kala hidup sebenarnya untuk setiap satelit tertentu akan bergantung pada kedua hal yaitu variasi indeks F10,7 sebenarnya dan rancangan serta letak satelit.

Jumat, 07 Oktober 2016

Pengertian dan Perkembangan pengindraan jauh



A. Pengertian Penginderaan Jauh

Pengindraan Jauh adalah suatu proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut. Informasi diperoleh dengan cara deteksi dan pengukuran berbagai perubahan yang terdapat pada dimana obyek berada. Proses tersbut dilakukan dengan cara perabaan atau perekaman energi yang dipantulkan, memproses, menganalisa, dan menerapkan informasi. Informasi secara potensial tertangkap pada suatu ketinggian melalui energi yang terbangun dari permukaan bumi, yang secara dtail didapatkan dari variasi-variasi spasial, spektral, dan temporal lahan tersebut.
Variasi spasial, spektral, dan temporal memberikan tambahan informasi yang saling melengkapi. Sebaran bentukan garis lurus yang membentuk jalur-jalur memberikan informasi terdapatnya suatu aktifitas dilokasi tersebut. Bentukan-bentukan yang teratur yang menyerupai rumah menambah informasi bahwa lokasi tersebut juga menjadi tempat tinggal. Dua informasi tersebut berasal dari variasi spasial obyek pada citra. Warna merah kecoklatan memperjelas pembedaan kumpulan obyek rumah dengan lokasi lahan bertutupan vegetasi yang berwarna hijau. Tambahan informasi ini berasal dari adanaya variasi spektral yang secara detil menambah akurasi identifikasi obyek. Perubahan jumlah obyek pada satu lokasi yang terdapat pada dua citra yang berbeda waktu perekamannya memberikan informasi multi temporal. Informasi multi temporal ini sangat bermanfaat dalam menganalisis perubahan fenomena yang terjadi pada rentang waktu tertentu di lokasi tersebut.
Perjalanan energi dalam sistem penginderaan jauh dapat dilihat pada gambar berikut :

Perjalanan energi tersebut membawa informasi dari muka bumi pada data citra yang siap digunakan untuk berbagai keperluan. Secara singkat beberapa subsistem penting dalam penginderaan jauh dapat disebutkan sebagai berikut :
1. Sumber energi yang merupakan hal utama yang diperlukan dalam penginderaan jauh sebagai penyedia     energi yang dipancarkan.
2.      Radiasi dan atmosfer, sebagai perjalanan energi dari sumber ke target.
3.      Interaksi energi dengan target.
4.      Perekaman energi oleh sensor.
5.      Tranmisi energi dari sumber ke sensor
6.      Interpretasi dan analisis data hasil perekaman
7.      Aplikasi

Satelit penginderaan jauh sumber daya yang banyak dimanfaatkan selama ini merupakan satelit yang menggunakan sistem optis. Penginderaan jauh sistem optis ini memanfaatkan spektrum tampak hingga infra merah. Rentang gelombang elektromagnetik yang lebih luas dalam penginderaan jauh meliputi gelombang pendek mikro hingga spektrum yang lebih pendek seperti gelombang infra merah, gelombang tampak, dan gelombang ultra violet.
 
B.     Citra

Citra merupakan hasil dari pemotretan/rekaman inderaja baik melalui sensor foto maupun elektromagnetik. Untuk menganalisis kenampakan yang terdapat dalam citra inderaja diperlukan penguasaan terhadap beberapa ciri spasial/keruangan yang terdapat dalam citra :

1. Rona
Rona adalah tingkat kecerahan suatu obyek yang dapat diidentifikasi dari warna yang tampak. Warna biru menandakan wilayah perairan, warna hijau gelap menandakan wilayah hutan, hijau muda menandakan wilayah pertanian dan sebagainya.

2. Tekstur
Adalah ukuran kasar/halus suatu objek misalnya jika tekstur objek kasar dapat menandakan wilayah hutan atau jika tekstur halus menandakan gurun, padang rumput dan lainnya.

3.Ukuran
Objek yang tertangkap dapat berupa berbagai ukuran seperti sempit, luas, memanjang, dan lainnya.

4. Bayangan
Bayangan ditentukan dari intensitas cahaya yang ditangkap objek.

5. Situs
Adalah hubungan antara suatu objek dengan lingkungan sekitarnya. Misal dalam citra teridentifikasi
terdapat hutan bakau maka dapat disimpulkan bahwa wilayah tersebut adalah wilayah pantai.

6. Pola
Objek di permukaan bumi dapat memiliki ciri menghasilkan pola-pola tertentu seperti pemukiman yang menggerombol, jalan yang memanjang dan lainnya.

7. Bentuk
Objek yang terekam memiliki bentuk yang beranekaragam mulai dari bulat, lurus, beraturan, dan lainnya. Bentuk stadion olah raga jika dilihat dari udara dapat berbentuk oval atau bulat.

8. Asosiagic
Ciri suatu objek yang khas misalnya, kawasan pabrik berasosiasi dengan cerobong asap, jalan berasosiasi dengan kendaraan, pantai berasosiasi dengan pohon kelapa dan lainnya

C.    Interpretasi Citra

Data penginderaan jauh adalah berupa citra. Citra penginderaan auh memiliki beberapa bentuk yaitu foto udara atau pun citra satelit. Data penginderaan jauh tersebut adalah hasil rekaman objek muka bumi oleh sensor. Data penginderaan jauh ini dapat memberikan banyak informasi setelah dilakukan proses interpretasi terhadap data tersebut.
Interpretasi citra merupakan serangkaian kegiatan identifikasi, pengukuran dan penterjemahan data-data pada sebuah atau serangkaian data penginderaan jauh untuk memperoleh informasi yang bermakna. Sebuah  data penginderaan jauh dapat diturunkan banyak informasi dari serangkaian proses interpretasi citra ini. Dalam proses interpretasi, objek diidentifikasi berdasarkan karakteristik berikut :
-          Target dapat berupa fitur titik, garis, atau pun area.
-          Target harus dapat dibedakan dengan objek lain.

1.      Interpretasi Manual dan Digital
Sebagian besar data penginderaan jauh diinterpretasikan secara manual dan visual. Interpretasi ini menggunakan data penginderaan jauh yang diwujudkan dalam tampilan citra atau format fotografis, terlepas dari sensor apa yang digunakan dan bagaimana cara perekamannya. Data penginderaan jauh model ini sering disebut dengan format analog.
Citra penginderaan jauh dapat pula disajikan menggunakan komputer dalam bentuk larik piksel, dimana masing-masing piksel berhubungan dengan nilai digital yang merepresentasi tingkat kecerahan piksel tersebut pada citra. Data seperti ini disebut dengan data format digital. Interpretasi visual dapat pula dilakukan dengan mengamati citra digital pada layer komputer.
Interpretasi dapat dilakukan dengan tampilan hitam putih atau citra berwarna. Citra hitam putih menampilkan citra satu saluran yang disajikan dengan perbedaan tingkat keabuan (grey scale). Piksel dengan nilai rendah akan representasi dengan warna hitam dan nilai tinggi direpresentasi dengan warna putih. Perbedaan nilai pantul spektral yang terekam pada sensor menjadikan nilai pada tiap piksel citra bervariasi. Variasi inilah yang selanjutnya diwujudkan dengan tampilan gradasi hitam putih tersebut pada citra dan membentuk gambaran objek di muka bumi.
Citra berwarna merupakan tampilan citra dengan multi saluran yang dihubungkan dengan penembak warna merah, hijau, dan biru (RGB) pada komputer. Variasi nilai pada suatu koordinat piksel yang sama akan mempengaruhi intensitas masing-masing warna yang muncul di layar komputer. Efek dari prose ini adalah tampilnya citra dengan warna-warna pada objek-objeknya. Warna objek sangat tergantung dari kombinasi saluran yang digunakan dalam penampilan tersebut. Tampilan citra ini sering pula disebut dengan tampilan multi spektral.
Ketika data penginderaan jauh berbentuk digital, maka proses dan analisis digital dapat dilakukan dengan menggunakan komputer. Proses dan analisis digital citra dilakukan untuk mempertajam atau meningkatkan kualitas dan akurasi interpretasi secara visual terhadap citra tersebut. Dalam proses dan analisis digital, dapat dilakukan proses otomasi identifikasi objek dan penyadapan informasi. Proses otomasi ini mengurangi intervensi dari interpreter pada proses interpretasi tersebut. Hal seperti ini sering dilakukan untuk melengkapi dan membantu analisis oleh interpreter citra.

2.      Karakteristik Interpretasi Manual dan Digital
Interpretasi manual banyak dilakukan terhadap data foto udara. Interpretasi ini dilakukan dengan mengamati data foto tersebut. Berbeda dengan interpretasi digital, metode ini dilakukan secara digital dengan menggunakan komputer. Kedua model interpretasi tersebut memiliki karakteristik yang berbeda.
Berikut adalah karakteristik pada metode interpretasi manual :
a. Interpretasi manual biasanya memerlukan lebih sedikit peralatan khusus.
b. Interpretasi manual melakukan analisis secara relative sederhana terhadap satu saluran atau citra tunggal.
c. Interpretasi manual merupakan proses yang bersifat subjektif sehingga hasil interpetasinya sangat mungkin terjadi perbedaan antara seorang interpreter dengan interpreter lainnya.

Seperti halnya pada interpretasi manual, metode interpretasi digital memiliki karakteristik yang berbeda sebgai berikut :
a. Interpretasi digital memerlukan peralatan yang khusus dan relatif mahal.
b. Interpretsi digital dapat melakukan analisis yang kompleks terhadap beberapa saluran citra secara     multispektral, multi temporal dan multi spasial.
c.  Interpretasi digital melakukan analisis terhadap nilai digital citra yang terkandung pada tiap larik piksel sehingga hasil interpretasi citra ini relative objektif dan konsisten.
Sesuai dengan karakteristik dari masing-masing metode interpretasi tersebut, kedua model interpretasi ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan dari metode tersebut tentu sangat terkait dengan karakteristiknya masing-masing. Dalam proses analisis, kedua metode tersebut dapat digunakan secara bersama. Proses digital digunakan untuk meningkatkan kualitas citra dan meningkatkan konsistensi interpretasi, selanjutnya interpretasi manual digunakan untuk pengambilan kesimpulan akhir dari proses interpretasi tersebut.

D.    Penginderaan Jauh Sebagai Ilmu, Teknik, dan Seni

Penginderaan jauh dikatakan sebagai ilmu karena memiliki berbagai karakteristik yang jelas. Karakteristik yang jelas itu antara lain terdapat pada lingkup studinya, konsepsi dasar, metodologi, serta filosofinya. Bila penginderaan jauh digunakan oleh pakar lain untuk menopang penelitian atau pekerjaannya, maka penginderaan jauh merupakan teknik bagi mereka. Misalnya seorang pakar lingkungan hidup yang menggunakan bantuan citra satelit untuk mengetahui kerusakan hutan.

E.     Sejarah Perkembangan Penginderaan Jauh
Perkembangan penginderaan jauh (PJ) bisa dibedakan kedalam dua tahap yaitu sebelum dan sesudah tahun 1960. Sebelum tahun 1960 masih digunakan foto udara, setelah tahun 1960 sudah ditambah dengan citra satelit.
           
Perkembangan kamera diperoleh dari percobaan yang dilakukan pada lebih dari 2.300 tahun yang lalu oleh Aristoteles dengan ditemukannya teknologi Camera Obscura yang merupakan temuan suatu proyeksi bayangan melalui lubang kecil ke dalam ruang gelap. Percobaan ini dilanjutkan dari abad ke 13 sampai 19 oleh ilmuwan seperti Leonardo da Vinci, Levi ben Gerson, Roger Bacon, Daniel Barbara (penemuan lensa yang dapat dipakai untuk pembesaran pandangan jarak jauh melalui penggunaan teleskop), Johan Zahr (penemuan cermin), Athanins Kircher, Johannes Kepler, Robert Boyle, Robert Hooke, William Wollaston dan George Airy
           
Pada 1700 AD, mulai ditemukan proses fotografi, yang pada akhirnya dikembangkan menjadi teknik fotografi (1822) oleh Daguerre dan Niepce yang dikenal dengan proses Daguerrotype. Kemudian proses fotografi tersebut berkembang setelah diproduksi rol film yang terbuat dari bahan gelatin dan silver bromide secara besar-besaran. Kegiatan seni fotografi menggunakan balon udara yang digunakan untuk membuat fotografi udara sebuah desa dekat kota Paris berkembang pada tahun 1859 oleh Gaspard Felix Tournachon. Pada tahun 1895 berkembang teknik foto berwarna dan berkembang menjadi Kodachrome tahun 1935.

Pada 1903 di Jerman, kamera pertama yang diluncurkan melalui roket yang dimaksudkan untuk melakukan pemotretan udara dari ketinggian 800 m dan kamera tersebut kembali ke bumi dengan parasut. Foto udara pertama kali dibuat oleh Wilbur Wright pada tahun 1909.
           
Selama periode Perang Dunia I, terjadi lonjakan besar dalam penggunaan foto udara untuk berbagai keperluan antara lain untuk pelacakan dari udara yang dilakukan dengan pesawat kecil dilengkapi dengan kamera untuk mendapatkan informasi kawasan militer strategis, juga dalam hal peralatan interpretasi foto udara, kamera dan film. Pada tahun 1922, Taylor dan rekan-rekannya di Naval Research Laboratory USA, berhasil mendeteksi kapal dan pesawat udara. Pada masa ini Inggris menggunakan foto udara untuk mendeteksi kapal yang melintas kanal di Inggris guna menghindari serangan Jerman yang direncanakan pada musim panas tahun 1940. Angkatan Laut Amerika, pada tanggal 5 Januari 1942 mendirikan Sekolah Interpretasi Foto Udara (Naval Photographic Interpretation School), bertepatan dengan sebulan penyerangan Pearl Harbor.
Sejak 1920 di Amerika, pemanfaatan foto udara telah berkembang pesat yang mana banyak digunakan sebagai alat bantu dalam pengelolaan lahan, pertanian, kehutanan, dan pemetaan penggunaan tanah. Dimulai dari pemanfaatan foto hitam putih yang pada gilirannya memanfaatkan foto udara berwarna bahkan juga foto udara infra merah.
Selama perang dunia ke II, pemanfaatan foto udara telah dikembangkan menjadi bagian integral aktifitas militer yang digunakan untuk pemantauan ketahanan militer dan aktifitas daerah di pasca perang. Pada masa ini Amerika Serikat, Inggris dan Jerman mengembangkan penginderaan jauh dengan gelombang infra merah. Sekitar tahun 1936, Sir Robert Watson-Watt dari Inggris juga mengembangkan sistem radar untuk mendeteksi kapal dengan mengarahkan sensor radar mendatar ke arah kapal dan untuk mendeteksi pesawat terbang sensor radar di arahkan ke atas. Panjang gelombang tidak diukur dengan sentimeter melainkan dengan meter atau desimeter. Pada tahun 1948 dilakukan percobaan sensor radar pada pesawat terbang yang digunakan untuk mendeteksi pesawat lain. Radar pertama menghasilkan gambar dengan menggunakan B-Scan, menghasilkan gambar dengan bentuk segi empat panjang, jarak obyek dari pesawat digunakan sebagai satu kordinat, kordinat lainnya berupa sudut relatif terhadap arah pesawat terbang. Gambar yang dihasilkan mengalami distorsi besar karena tidak adanya hubungan linier antara jarak dengan sudut. Distorsi ini baru dapat dikoreksi pada radar Plan Position Indicator (PPI). PPI ini masih juga terdapat distorsi, tetapi ketelitiannya dapat disetarakan dengan peta terestrial yang teliti. Radar PPI masih digunakan sampai sekarang. Radar PPI dan Radar B –Scan antenanya selalu berputar. Pada sekitar tahun 1950 dikembangkan sistem radar baru yang antenanya tidak berputar yaitu dipasang tetap di bawah pesawat, oleh karena itu antenanya dapat dibuat lebih panjang sehingga resolusi spatialnya lebih baik.
Pada periode tahun 1948 hingga tahun 1950, dimulai peluncuran roket V2. Roket tersebut dilengkapi dengan kamera berukuran kecil. Selama tahun 1950-an, dikembangkan foto udara infra merah yang digunakan untuk mendeteksi penyakit dan jenis-jenis tanaman.
Aplikasi di bidang militer diawali dengan ide untuk menempatkan satelit observasi militer pada tahun 1955 melalui proyek SAMOS (Satellite and Missile Observation System), yang dipercayakan oleh Pentagon kepada perusahaan Lockheed. Satelit pertama dari proyek ini dilucurkan pada tanggal 31 Januari 1961 dengan tujuan menggantikan sistem yang terpasang pada pesawat-pesawat pengintai U2 (Hanggono, 1998).

Perkembangan Sesudah Tahun 1960.


Perekaman bumi pertama dilakukan oleh satelit TIROS (Television and Infrared Observation Satellite) pada tahun 1960 yang merupakan satelit meteorologi. Setelah peluncuran satelit itu, NASA meluncurkan lebih dari 40 satelit meteorologi dan lingkungan dengan setiap kali diadakan perbaikan kemampuan sensornya. Satelit TIROS ini sepenuhnya didukung oleh ESSA (Environmental Sciences Services Administration), kemudian berganti dengan NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) pada bulan Oktober 1970. Seri kedua dari satelit TIROS ini disebut dengan ITOS (Improved TIROS Operational System). Sejak saat ini peluncuran manusia ke angkasa luar dengan kapsul Mercury, Gemini dan Apollo dan lain-lain digunakan untuk pengambilan foto pemukaan bumi. Sensor multispektral fotografi S065 yang terpasang pada Apollo-9 (1968) telah memberikan ide pada konfigurasi spektral satelit ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite), yang akhirnya menjadi Landsat (Land Satellite). Satelit ini merupakan satelit untuk observasi sumber daya alam yang diluncurkan pada tanggal 23 Juli 1972. Disusul oleh generasi berikutnya Landsat 2 diluncurkan pada tanggal 22 Januari 1975 dan peluncuran Landsat 3 pada tanggal 5 Maret 1978. Perkembangan satelit sumber daya alam komersial terjadi pada Landsat 4 yang diluncurkan pada tanggal 16 Juli 1982, disusul Landsat 5 yang peluncurannya pada tanggal 1 Maret 1984, dan Landsat 6 gagal mencapai orbit. Direncanakan pada awal 1998 akan segera diluncurkan satelit Landsat 7 sebagai pengganti Landsat 5.
Perkembangan satelit sumber daya alam tersebut diikuti oleh negara lain, dengan meluncurkan satelit PJ operasional dengan berbagai misi, teknologi sensor, serta distribusi data secara komersial, seperti satelit SPOT-1 (Systemme Probatoire d’Observation de la Terre) oleh Perancis pada tahun 1986 yang diikuti generasi berikutnya, yaitu SPOT-2, 3, dan 4.


Demikian juga dengan dipasangnya sensor radar pada satelit PJ sebagai penggambaran sensor optik, merupakan peluang yang baik bagi negara Indonesia, yang wilayahnya tertutup awan sepanjang tahun.

Pada tahun 1986 Heinrich Hertz melakukan percobaan yang menghasilkan bahwa berbagai obyek metalik dan non metalik memantulkan tenaga elektromagnetik pada frekwensi 200 MHz yang dekat dengan gelombang mikro. Percobaan radar pertama kali dilakukan oleh Hulsmeyer pada tahun 1903 untuk mendeteksi kapal.
Satelit PJ radar yang digunakan untuk mengindera sumber daya di bumi dimulai dengan satelit eksperimen Amerika Serikat untuk mengindera sumber daya laut Seasat (Sea Satellite) tanggal 27 November 1978, SIR (Shuttle Imaging Radar)-A 12 November 1981, SIR-B tahun 1984, SIR-C tahun 1987. Disusul satelit SAR milik Rusia Cosmos 1870 tahun 1987, dan beroperasi selama dua tahun, untuk pengumpulan data daratan dan lautan. Cosmos-1870 ini hanya merupakan suatu prototipe, yang dirancang khusus untuk satelit sistem radar, yang secara operasional akan dilakukan oleh Almaz-1. Satelit Almaz-1 diluncurkan 31 Maret 1991, yang awalnya untuk pantauan kondisi cuaca setiap hari, sedangkan secara operasional mengindera bumi baru dimulai 17 Oktober 1992 dan beroperasi selama 18 bulan. Konsorsium Eropa (ESA = European Space Agency) tidak mau ketinggalan meluncurkan ERS-1 tahun 1991 dan ERS-2 tahun 1995. Disusul Jepang dengan JERS (Japan Earth Resources Satellite), yaitu JERS-1 diluncurkan tanggal 11 Februari 1992, namun program ini tidak diteruskan dan diganti dengan Adeos (Advanced Earth Observation Satellite) Agustus 1996, serta GMS (Geostationer Meteorogical Satellite), India dengan IRS (Indiana Resources Satellite); dan Canada dengan Radarsat (Radar Satelitte).

Pada saat ini, satelit intelijen Amerika memiliki kemampuan menghasilkan citra dengan resolusi yang sangat tinggi, mampu mencapai orde sepuluhan sentimeter. Pada sebuah citra KH-12, mampu mengambil gambar pada malam hari dengan menggunakan gelombang infra merah yang sangat berguna untuk mendeteksi sebuah kamuflase atau bahkan dapat melihat jika seorang serdadu menggunakan topi/helmnya. Selain Amerika negara lain yang memiliki satelit pengindera bumi dengan resolusi yang sangat tinggi adalah Rusia dengan KVR 1000 (satelit Yantar Kometa), Perancis dengan Helios-2A dan Israel dengan Offeq-2.

Selain di bidang militer, pemerintah Amerika Serikat juga telah memberikan lisensi kepada tiga perusahaan swasta untuk meluncurkan satelit sipil beresolusi sangat tinggi seperti Orbview (Orbital Science Corporation), Space Imaging Satellite (Lockheed) dan Earthwatch (Ball Aerospace). Orbview akan menangani misi Orbview/Baseline yang akan diluncurkan tahun 1999 yang menawarkan resolusi 1 meter untuk mode pankromatik dan 4 meter untuk mode multispektral. Pada pertengahan tahun 1998 ini juga direncanakan peluncuran satelit Quick Bird yang merupakan satelit penerus generasi sistem Early Bird. Satelit Quick Bird akan membawa sensor QuickBird Panchromatic dengan resolusi spatial 1 meter dan QuickBird Multispectral dengan resolusi 4 meter.

Setiap program satelit mempunyai misi khusus mengindera dan mengamati permukaan bumi, sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan aplikasi yang menjadi tujuannya. Misi satelit PJ resolusi tinggi sebagian berorientasi untuk inventarisasi, pantauan, dan penggalian lahan atau daratan, sebagian untuk mendapatkan informasi kelautan dan lingkungan. Tabel 1 menunjukkan program satelit PJ operasional mulai dari tahun 1990 sampai menjelang tahun 2000, yang distribusi datanya bagi masyarakat di seluruh dunia. Data PJ tersebut dapat dipesan, dibeli, atau diminta melalui operator satelit atau stasiun bumi di negara atau kawasan setempat.

Di Indonesia, pengguanaan foto udara untuk survei-pemetaan sumberdaya telah dimulai oleh beberapa lembaga pada awal tahun 1970-an. Pada periode yang sama, ketika berbagai lembaga di Indonesia masih belajar memanfaatkan foto udara, Amerika Serikat pada tahun 1972 telah meluncurkan satelit sumberdaya ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite-1) yang kemudian diberi nama baru menjadi Landsat-1. Satelit ini mampu merekam hampir seluruh permukaan bumi pada beberapa spektra panjang gelombang dan dengan resolusi spasial sekitar 80 meter. Sepuluh tahun kemudian, Amerika Serikat  telah meluncurkan satelit sumberdaya Landsat-4 (Landsat-D) yang merupakan satelit sumberdaya generasi kedua, dengan memasang sensor baru Thematic Mapper yang mempunyai resolusi yang jauh lebih tinggi dari pada pendahulunya, yaitu 30 meter pada enam saluran spektral pantulan dan 120 meter pada satu saluran spektral pancaran termal. Pada tahun yang hampir bersamaan itu pula, beberapa lembaga Indonesia baru mulai memasang sistem komputer pengolah citra digital satelit, dan menjadi salah satu negara yang termasuk awal di Asia Tenggara dalam penerapan sistem pengolah citra digital. Meski pun demikian, tampak nyata bahwa Indonesia sebagai negara berkembang cenderung tertinggal dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi.