BAB 5
RESTORASI DAN
KALIBRASI CITRA
Semua citra digital yang telah
terekam oleh sensor dan di simpan dalam format yang dapat di baca program
pengolah citra perlu di tampilkan pada layar monitor untuk di analisis dan dan
tidakl jarang untuk di cetak. Restorasi citra diperlukan apabila kualitas citra
yang di gunakan tidak mencukupi untuk mendukung aplikasi tertentu.namun
sebenarnya semua citra yang di peroleh melalui perekaman sensor tak lepas dari
kesalahan, yang diakibatkan oleh mekanisme perekaman sensor, gerakan, wujud
geometric dan kunfigurasi permukaan bumi, serta kondisi atmosfer pada saat
perekaman
Kesalahan yang terjadi pada
proses pembentukan citra ini perlu di koreksi supaya aspek geometrid an
radiometri yang di kandung oleh citra tersebut benar benar dapat mendukung
pemanfaatan untuk aplikasi yang berkaitan dengan pemetaan sumberdaya ddan
kajian lingkungan atau kewilayahan lainnya. Beberapa praktisi seringkali
menggunakan istilah prapengolahan untuk maksud yang sama karena restorasi vitra
memang banyak hal yang perlu diterapkan sebelum dilakukan pengolahan. Khususnya
dalam hal ekstrasi informasi
I.
KUALITAS CITRA
Kualitas citra yang akan di bahas
pada sub bab berikut beberapa dengan
pengertian kualitas data spasial secara umum, seperti yang telah di
publikasikan secara mendalam oleh Guptill dan Morrison(1995). Kualitas data
spasial secara umum yang di maksud oleh Gptill dan Morrison adalah suatu data
yang harus di indormasikan kepada para pengguna data agar mereka dapat
memanfaatkannya secara prefesional dan juga pada para praktisi atau peneliti
yang dalam pekerjaannhya mengahsilkan keluaran berupa peta atau citra agar
mencantumkan informasi tentang keadaan data yang dihasilkan sehingga data dapat
di manfaatkan sebagaimana mestinya.
Pada bab ini kualitas citra
merupakan ukuran kualitatif maupun kuantitatif suatu citra yang akan di proses
dengan teknik pengindraan jauh agar dapat menghasilkan informasi tematik
spasial turunan yang sesuai dengan standar akurasi yang telah di tetapkan.
Secara garis besar, kualitas citra dapat di kelompokan menjadi kualitas
geometrid an kualitas radiometri. Geometri dinilai secara kuantitatif
berdasarkan tingkat kebenaran (akurasi) bentuk serta posisi objek pada citra,
dengan mengacu pada bentuk dan posisi sebenarnya di lapangan ataupun bentuk dan
posisi pada peta dengan proyeksi tertentu. Di samping itu, ukuran kualitas
geometri terkait erat dengan salah satu aspek kualitas data spasial. Yaitu
akurasi posisi
Kualitas radiometri di nilai
berdasarkan nyaman tidaknya gambar dalam pandangan secara visual, dan juga
benar atau tidaknya informasi spectral yang diberikan objaek dan tercatat pada
sensor. Dengan demikian, kualitas radiometri dapat di nilai secara kualitatif
dan kuantitatif. Meskipun bersifat kualitatif, nyamannya ganmbar untuk di lihat
secara visual sangat berpengaruh pada kemampuan penggunaan citra untuk
menurunkan informasi yang ada. Hal ini terutama berlaku bagi analisis atau
interpretasi secara visual, bukan berarti bahwa analisis secara digital tidak
berpengaruh sama sekali
Tinggi rendahnya kualitas citra
di pengaruhi oleh banyak hal, antara lain kualitas sensor dan detector, posisi
wahana pada saat perekamaan, kondisi daerah yang di liput, dan juga kondisi
atmosfer pada saat perekamaan.keadaan awal kualitas citra ini. Apabila sangat
rendah, akan berpengaruh secara langsung terhadap kualitas hasil
restorasi.perlu juga di tekankan di sini bahwa tinggi rendahnya
resolusi(temporal/spectral/spasial)tidak dapat langsung digunakan sebagai
ukuran kualitas citra karena aspek resolusi ini tidak lepas dari misi
peluncuran wahananya dan tujuan aplikasinya.
PENILAIAN KUALITAS CITRA
Penilaian kualitas citra dapat
dilakukan secara absolut biasanya mengacu pada beberapa tolak ukur yang jelas,
misalnya presentase liputan awan, banyaknya drop out atau kegagalan baris
pemindaian, serta korelasi antara saluran pada system multispectral. Penilaian secara relative biasanya di kaitkan
degan potensi citra yang bersangkutan untuk suatu aplikasi tertentu, misalnya
survey geologi,kota,ataupun vegetasi.
BEBERAPA PARAMETER KUALITAS CITRA
Berikut ini ulasan singkat
tentang beberapa parameter kualitas citra yang digunakan oleh para praktisi,
yaitu tutupan awan dan gangguan kabut,korelasi antar salutran,kesalahan
geometri, dan kesalahan radiometri.
TUTUPAN AWAN DAN GANGGUAN KABUT
Semakin banyak luas liputan awan
berarti semakin banyak pula informasi permukaan bumi yang hilang karena tutupan
awan dan sekaligus bayangannya. Hal ini sangat berbeda dengan satelit cuaca
yang justru banyak membutuhkan informasi mengenai bentuk dan luas liputan awan,
demi peramalan gejala gejala atmosfer atau cuaca (Conway dan Maryland Space
Consortium 1997) meskipun demikian, sekalipun awan total pada suatu scene hanya
10%, bias jadi liputan tersebut merata pada seluruh wilayah. Hal ini tentu saja
menggangu dalam proses interpretasi manual maupun klasifikasi secara digital
karena tutupan awan hamper selalu di temani8 oleh tutupan bayangan awan.
Di Indonesia, citra yang 100%
bebas awan sangat sulit di peroleh. Hal ini desebabkan oleh waktu perekaman
satelit yang bersamaan dengan waktu pembentukan awan dan system sensornya.
System sensor satelit banyak yang
di rancang untuk bekerja pada spectra pantulan dan pancaran, baik system
multispectral maupun hiperspektral. Dengan demikian, system ini tidak mampu
menangkap informasi hamburan balik gelombang mikro yang dapat menembus awan.
Pada citra yang di terbitkan oleh berbagai instansi survey pemetaan dan lembaga
antariksa, informasi luas liputan awan diberikan salah satu pertimbangan utama.
KORELASI ANTAR
SALURAN
Pada sensor multispectral
menghasilkan citra daerah yang sama pada beberapa saluran. Perbedaan informasi
spectral objek objek yang sama pada beberapa saluran justru memperkuat
kemampuan system dalam membedakan objek satu terhadap yang lain, melalui
analisis gugus. Rendahnya hubungan antar saluran menunjukan bahawa satu saluran
tidaklah mirip atau tidak hanya menunjukan kecenderungan rona yang terbalik
dari saluran yang lain sehingga secara bersama sama saling melengkapi dan dapat
di pakai untuk mengenali objek.
Koefisien korelasi merupakan
parameter yang sering di gunakan untuk menunjukan kekuatan hubungan antar
variable. Dalam citra hal citra multispectral, tiap piksel mempunyai n macam nilai pada n saluran, dan bila seluruh piksel pada 2 saluran diplot pada
system 2 dimensi maka nilai koefisien korelasi kedua saluran ini dapat
dihitung. Bentuk gugus yang memanjang menunjukan bahwa pola hubungan antara
saluran ini cenderung bersifat linier. Bila nilai koefisien korelasinya tinggi,
berarti, kedua saluran mempunyai kecenderungan yang sama dalam mempresentasikan
objek. Dengan kata lain, keduanya tidak saling melengkapi. Oleh karena itu,
semakin tinggi korelasi antar saluran, semakin kedua citra tersebut tidak dapat
di andalkan untuk analisis multi spectral.
KESALAHAN GEOMETRI
CITRA
Citra yang di hasilkan secara
klangsung melalui proses perekaman satelit tidaklah bebas dari kesalahan.
Kesalahan ini muncul karena adanya gerakan satelit, rotasi bumi, gerakan cermin
pada sensor skaner, dan juga kelengkungan bumi. Pada satelit sumber daya yang
umumnya mengorbit secara polar atau hampar polar, kombinasi mekanisme lintasan
satelitdengan arah rotasi bumi menyebabkan terjadinya pergeseran wujud gambar
dari kelompok baris pemindaian ke kelompok baris pemindaian berikutnya. Hasil
perekaman juga merupakan model dua dimensi yang menggambarkan kenyataan tiga
dimensi pada bidang lengkung permukaan bumi. Disini muncul kesalahan geometri
citra yang lain.perbedaan tinggi objek di permukaan bumi secara langsung
direkam sehingga menghasilkan citra dengan skala tidak seragam.kesalahan ini di
tambah dengan adannya variasi ketinggian lintasan satelit
GANGGUAN DAN KESALAHAN RADIOMETRI
Inkonsistensi detector dalam
menangkap informasi juga menghasilkan kesalahan berupa anomaly nilai piksel.
Piksel ini menjadi bernilai jauh lebih tinggi atau lebih rendah dari yang
seharusnya. Keterlambatan dalam memulai baris perekaman baru juga menghasilkan baris baris perekaman yang
cacat. Kesalahan kesalahan tersebut diakibatkan oleh mekanisme internal sensor.
Gangguan sinyal pada citra dapat
berupa kosongnya nilai piksel pada suatu baris pemindaian atau kolom tertentu
sehingga piksel piksel tersebut bernilai 0. Gangguan semacam ini dapat pula
berupa deretan nilai yang sangat tinggi, kadang kadang 225, berbentuk seperti
goresan goresan pada citra secara melintang. Gangguan lain adalah anomaly
nilkai piksel secara individual sehingga tidak memepresentasikan informasi
spectral yang seharusnya. Gangguan gangguan sinyal semacam ini pada umumnya
disebabkan oleh tidak berfungsinya detector pada suatu periode tertentu.
Pada
system SPOT, gangguan ini justru terjadi sepanjang kolom, sebagai konsekuensi
mekanisme pemindaian push-broom atau along-track scanncing.
Untuk
SPOT, upaya mengatasi gangguan-gangguan ini tentunya dilakukan sebelum koreksi
geometri awal,mengingat bahwa kolom-kolom yang terganggu akan tergeser
posisinya bila pada citra tersebut ditetapkan koreksi giometri awalnya untuk
efek kelengkungan dan rotasi bumi, misalnya menggunakan tranformasi indeks
vegetasi dan pemfilteran (Danoedoro, 1989).
Informasi
dan penyimpanan melalui cara bit-coding,
namun sudah tidak lagi mengandung informasi spectral dengan satuan yang lama,
melainkan dalam nilai digit 0 – 63, 0 – 127, atau 0 – 255. Semakin banyak
energy yang masuk ke sensor, semakin tinggi nilai digit yang
dihasilkan.akibatnya informasi pantulan energy yang tercatat sehingga piksel
yang bersangkutan akan bernilai 0. Bila kegagalan ini berlangsung dalam selang
waktu tertentu maka dihasilkan baris piksel dangan nilai 0 (untuk system
perekaman MSS dan TM Landsat disebut drop-out baris) atau kolom dengan nilai 0
(untuk system perekaman pushbroom SPOT).
Factor
eksternal sensor yang juga memegang peran penting adalah adanya pengaruh
atmosfer. Partikel-partikel dalam atmosfer yang kadang-kadang menyerap radiasi
pantulan atau pancaran objek, telah mengubah informasi spectral yang mencapai
sensor. Beberapa jenis yang dikenal antara lain hamburan Rayleigh, hamburan
molekural, hamburan mie.
5.2 KOREKSI (RESTORASI) CITRA
Koreksi
citra merupakan suatu operasi pengondisian supaya citra yang akan digunakan
benar-benar memberikan informasi yang akurat secara geometris dan radiometris.
Operasi koreksi disebut juga perasi pra-pengelolahan (pre-processing). Spectral dan geometris citra seperti seharusnya
maka koreksi citra kadang-kadang disebut pula sebagai proses restorasi citra.
5.2.1 KOREKSI GEOMETRI CITRA
Untuk
mengatasi kesalahan geometri citra, berbagai macam koreksi dilakukan. Mather
(2004) mengelompokan koreksi itu dalam dua kategori besar, yaitu (a) model
geometri obiraldan (b) transformasi berdasarkan titik-titik control lapangan
(ground control points, GCP). Berikut ini uraian masing-masing metode koreksi
secara ringkas.
1. METODE
GEOMETRI ORBITAL
Metode
koreksi yang mengacu ke model geometri orbital. Banari (1995, dalam Mather,
2004) menjeskan dua prosedur berdasarkan persamaan-persamaan kolinearitas
fotogrametri yaitu persamaan karakteristik orbit dan satelit dan geometri arah
pandang. Berikut ini factor-faktor yang dikoreksi melalui model geometri
orbital ini antara lain :
a. Koreksi
‘Aspect Ratio’
Untuk mengatasi hal
ini maka perlu dipilih apakah piksel dikorekasi menjadi 79 x 79 m atau 56 x 56
m. karena arah pemindaian melintang orbit yang mengalami oversampling maka pemilihan 79 x 79 di pandang lebih rasional. Aspect ratio adalah 56:79 atau 1:1,41.
Matriks tranformasi pertama untuk mengoreksi aspect ratio menjadi 1:1
b. Koreksi
Kemencengan
Landsat
1-3 mempunyai inklinasi sebesar 99,09°., sementara landsat 4 – 5 dan 7
mempunyai inkliminasi sebesar 98.2°, serta meningkat sejalan dengan bertambah
besar
Pedoman
inilah yang dipakai sebagai dasar untuk mengoreksi geometri citra melalui
proses rotasi sehingga kenampakan Landsat-7 ETM+ dengan aras (level) koreksi 1G
sudah terputar miring ke kanan.
c. Koreksi
Rotasi Bumi
Pada
saat satelit mengorbit bumi dari arah utara keselatan , satelit juga secara
kontinu melakukan perekaman dengan memindai permukaan bumi yang ada dibawahnya.
Untuk mengopensasi pasis ini maka diperluakan penentuan parameter berikut: (a)
waktu yang di perlukan oleh sensor satelit untuk merekam citra, dan (b)
kecepatan sudut rotasi bumi kearah
timur). Baik jarak maupun kecepatan dinyatakan dalam ukuran sudut (angular),
misalnya radian, dimana 1 rad kurang lebih sebesar 57°.
Dalam
waktu 28,6 detik satelit bergerak dari pemindaian barisan petama sampai
pemindain baris terakhir satu scene. Pada
lintang L titik tersebut pada permukan bumi,
Dimana
R adalah jejari bumi, yang kurang lebih sebesar 6378 km, sedangkan
adalah kecepatan sudut
bumi. Karena bumi berputar selama 23 jam 56 menit dan 4 detik (tidak bulat 24
jam), atau 86.164 detik untuk menyelesaikan satu rotasi. Pada kenyataannya,
satelit mengorbit dengan sudut tertentu terhadap garis bujur, yang pada lintang
L =7°(diatas semarang – yogjakata) orbitnya membentuk sudut 8,36°.
![](file:///C:/Users/ejon12/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image030.png)
Komputasi
tersebut dapat diringkas sebagai suku, yang menunjukan besarnya pergeseran
posisi karena rotasi bumi dan sekalipun kemencengan (skewness) orbit satelit
dengan rumus sebagai berikut :
Dimana
ωe adalah kecepatan sudut perputaran bumi dan ωe adala kecepatan sudut satelit;
sedangkan L merupakan posisi lintang dalam derajat Ѳ adalah sudut kemencengan
lintasan satelit pada posisi lintang L.
Mather
(2004) Menambahkan bahwa sejumlah piksel ditambahkan pada awal setiap baris
pemindaian untuk mengompensasi efek rotasi bumi ini. Jika koreksi ini dipandang
cukup maka treansformasi matriks M3 dapat dihilangkan. Namun jika tidak maka
penambahan iksel diberikan pada header/trailer
citra yang disosiasikan dengan
setiap baris pemindahan, dan pengisian piksel bias dihilangkan sehingga matriks
transformasi M3 di terapkan.
Citra
yang telah terkoreksi geometri secara sistimatik semacam ini pada umumnya tela
siap untuk diproses secara digital untuk ekstraksi informasidan juga untuk
interpretasi visual. Kusu pada system MSS landsat, koreksi ini juga meliputi
‘penambahan’ jumlah garis piksel, utuk menyamankan skala sepanjang baris dengan
skala sepanjang kolom. Perbedaan skla ini muncul karena system MSS landsat
menghasilkan piksel beresolusi 79 (sepanjang kolom) x 54 meter (sepanjang
baris).hal ini diakibatkan oleh perbedaan kecepatan gerak putaran cermin dengan
kecepatan koding sehingga pada setiap baris, piksel berikutnya sellalu
‘mendidih’ peksel sebeumnya.
Pada
system perkaman HRV spot, hal ini tidak terjadi karena tidak adanya mekanisme
gerakan cermin. Koreksi hanya dilakukan dengan menghitung magnitude kecepatan
rotasi bumi, gerakan satelit, dan sudut pandang sensor. Pada aras (level) ini,
citra SPOT-HRV dikatakan memiliki aras koreksi 1-B. koreksi geometri
selanjutnya dierlukan untuk menghasilkan data yang lebih teliti dalam aspek planimetrik
2.
TRANFORMASI BERDASARKAN GCP
Koreksi
geometri menggunakan model geomrti orbital merupakan model fisikal yang mencoba
mengenali parameter-parameter penyebab kesalahan secara deduktif, kemudian
direkontruksikan. Variasi ketinggian dan sikap/posisi wahana maupun objek tidak
ikut diperhiyungkan dalam mdel fisikaal in, semata-mata karena informasi yang
diperlukan untuk koreksi ini tidak tersedia (Mather, 2004). Oleh karena itu
muncul cara pandang yang berbeda, yang mencoba mengoreksi citra dari sudut
pandang empiris, dengan cara membandingkan posisi-posisi yang berbeda dengan
citra dan data lapangan/peta yangsdah tersedia .
Piksel
yang dimaksud adalah posisi pusat piksel .pada koreksi ini telah
dipertimbangkan bahwa perubahan posisi piksel itu juga mencangkup perubahan
informasi spektarlnya. Untuk mengatasi hal it, diperlukan interpolasi nili
spectral selama tranformasi geometri (yang disebut proses resampling) sehingga
dihasilkan geometri baru dengan nilai baru.
a.
Kreksi
geometri dengan Rektifikasi Citra ke Peta
Dalam proses in,
system geometri citra diubah menjadi plan metric. Segala aktifitas pemanfaatan
citra yang memerlukan koreksi ini. Meskipun demikian metode koreksi ini tidak
mampu menghilangkan semua distrosi yang disebabkan oleh pergeseran relief pada
citra.
Proses koreksi ini
dimulai dengan memilih pasangan titik-titik kordinat pada citra(baris-klom) dan
pada peta(x-y, misalnya pada sitem kodrinat UTM) berdasarkan pasangan
titik-titik ini koefisien-koefisien persamaan tranformasi yang digunakan untuk
mengubah system kordinat citra ke system koordinat peta akan ditentukan.
Cara forward mapping ini tampaknya tidak
bermasalah ketika kita mencoba untuk mentranformasi titik-titik krdinat yang
bersifat diskret disepanjang kenampakan linier, misalnya jalan atau sungai pada
peta fector. Hal ini besa dilakukan dalam pemetaan katografi dan system
informasi geografis berbasisi fektor . masalah muncul ketika peta yang
dikoreksi adalah peta grid (raster) atau citra digitaldimana diperlukan operasi
untuk mengisi grid peta baru (terkoreksi) dengan nilai yang diperoleh dari cita
atau citra lama (sebelum koreksi) masalah ini terlihat pada penempatan lokasi
baru yang seolah mengembang, tidak tepat pada posisi grid. Utuk mengatasi hal
ini , suatu interpolasi nilai diperlukan untuk mengganti nilai lama dengan
mempertimbangkan nilai-nilai piksel yang ada disekitarnya. Proses ini disebut
dengan proses interpolasi nilai piksel.
Jansen(2005) juga
menegaskan secara teroretissemakin tinggi orde polinomnya maka semakin dekat
kooesfisie-koefisien tersebut dalam memodelkan kesalahan geometri pada citra
asli (sebelum koreksi).
Dalam praktik,
persamaan polimonial orde 1 sudah bias dijalankanan pada citra wilayah bermedan
yang relative datar, sementara polinom orde yang lebih tinggi untuk citra yang
menggambarkan kondidi wilayah yang lebih kasartoopografinya.
Untuk
kesalahan-kesalahan yang disebutkan terakir maka polinom orde yang lebih tinggi
diutamakan
Akurasi Hasil Koreksi
Geometri; Rmse
Berdasarkan pasangan
koordinat anatara titik control lapanagan (GCP) dengan koordinat baru hasil
estimasi, diperoleh selisi pada seanjang sumbu x (arah timur) maupun sumbuh Y
(arah utara). Selisih ini dapat dihitug pada setiap titik control dan juga pada
hasil transformasi keseluruhan, yang memperhitungkan setiap ttitik control yang
ada. Berdasarkan selisih-selisih in kemudian dapat dihitung besarnya akurasi
hasil geometri dengan rumus root mean square error (RMSE).
Dimana:
N = jumlah
total titik control lapagan (GCP) yang digunakan dalam koreksi atau rektifikasi
Ei
dan Ni =
berturut-turut koordinat x (timur, E) dan Y (utara, N) dari GCP ke-I, yang
dihitung dari fungsi tranformasi f1 dan f2 yang digunakan
dalam rektifikasi.
Ê
dan Ň = koordinat referensi
berturut-turut untuk X (timur,E) dan Y(utara,N) yang diperoleh dari pea
topografi atau asil pengukuran GPS di lapangan
Berdasarkan
RMSEE dan RMSEN kemudian dapat dihitung nilai indicator
akurasi keseluruhan berdasarkan rumus beriku:
b.
Koreksi
geometri dengan rektifikasi citra-ke-citra
Koreksi
geometri dengan retifikasi dari citra ke citra merupakan suatu proses yang
membandingkan pasangan titik-titik yang dapat diidentifikasi dengan mudah pada
kedua citra. Rektifikasi citra ke citra dapat memerlukan hasil yang harus
menyajikan informasi tentang koordinat yang benar sesuai dengan peta. Misalnya,
dua himpunan data ikonos dab quikbird pada waktu perekaman yang berbeda hendak
diperbandingkan kenampakannya, analisi perubahan penggunaan lahan.
Interpolasi
Intensitas Dalam Koreksi Geometri\
Perhatikan
bahwa matriks ata grid dengan posisi koordinat yang bernilai bulat (misalnya
x’=3, y’=4; x’=5, y’=2, dan seterusnya) tersebut juga telah ditempati oleh
nilai-nilai pikes tertentu pula.
Alogaritma
bilinear interpolation mempertimbangkan ke empat nilai piksel yang berdekatan
untuk kemuduan di rata-rata secara proporsional, sesuai dengan jaraknya terhadap
posisi baru, dengan mengikuti formula berikut:
Dimana
BVwt (bilinier) merupakan nilai piksel baru hasil interpolasi
spasial (den koreksi geomeri) yang merupakan rerata tertimbang melalui metode
bilinear; Zk adalah nilai piksel disekitar titik hasil penempatan
posisi baru (k=4, karena ada 4 piksel yang ada disekitarnya untuk
diprtimbangkan); dan Dk2 adalah kuadrat jarak dari titk
hasil penentuan lokasi baru yang akan ditentuka nilainya.
Bilinear
interpolation akan menghasilkan kenampakan yang jauh lebih halus dari pada
nearest neighbor, sedangkan cubic convolution justru akan menghasilakn citra
dengan kenampakan yang tidak terlalu diperhalus. Alogaritma nearest neighbor
lebih sesuai diterapkan pada citra saluran-saluran asli dan juga hasil kasifikasi
(yang berupa peta penutup lahan ), namun dengan resiko kenampakan linier yang
terpatah-patah (broken)
Distribusi
GCP
Hasil
RMSE yang kecil merupakan jaminan bagi bagusnya hasil koreksi geometri secara
spasial. RMSE yang sedikit lebih besar kadang-kadang merupakan hasil yang
optimal apabila kondisi medan cukup berat dan titik-titik control suli dijumpai
Cara
paling bai untuk mengetahui apakah suatu citra telah dikoreksi geometri dengan
baik adalah dengan mengeplot peta vector meliputi jaringan jalan, batas-bats
penutp lahan, jaringan jalan dan sungai di atas citra terkoreksi. Apabila RMSE
cukup kecil dan semua fitur kenampakan topografis terplotkan dengan tepat maka
koreksi geometri yang telah dilakkan dapat dipandang cukup baik. Sebaliknya,
apabila nilai RMSE relative kecil namun hasil pengeplotan fitur topografis
justru meperlihatkan banyaknya penyimpangan posisi kenampakan hasil koreksi maka sebaiknya
proses koreksi geometri perlu diulang, dengan membatalkan dan mengambil kembali
titik-titik kontrol atau GCP.
5.2.2 KOREKSI /
KALIBRASI RADIOMETRI CITRA
Koreksi radiometri
diperlukan atas dua alasan yaitu ubtuk memperbaiki kualitas visual citra dan
sekaligus memperbaiki nilai – nilai piksel yang tidak sesuai dengan nilai
pantulan atau pancaran spectral objek yang sebenarnya. Koreksi rasiometri citra
yang dituunjukan untuk memperbaiki kualitas visual citra berupa pengisisan
kembali baris yang kosong karena droop out baris mupun masalah kesalahan awal
pemindaian koreksi radiometri yang ditunjukan untuk memperbaiki nilai pikxel
supaya sesuai dengan yang seharusnya juga bisa dilakukan dengan memprtimbangkan
factor gangguan sebagai sumber kesalahan utama.
I.
Koreksi yang bertumpuh pada informasi
dalam citra
a.
PENYESUAIAN HISTOGRAM
Metode
ini merupkan pilihan yang paling sederhana dengan hanya melihta histogram
setiap saluran secara independen. Dari histogram dapat diketahui nilai piksel
terendah saluran tersebut.
b.
PENYESUAIAN REGERESI
Penyesuaian
regeresi diterapkan dengan memplot nilai-nilai piksel hasil pengamatan pada
beberapa saluran sekaligus. Hal ini
dapat diterapkan apabila saluran rujukan yang menyajikan nilai 0 untuk
objek tertentu, misalnya saluran TM7 untuk air jernih, dalam, dan tenang.
Kemudian ssetiap saluran di pasangkan dengan saluran rujukan tersebut membentuk
diagram pancar nilai-nilai piksel yang diamati
c.
PENGGUNANAN FUTURE SPACE
Metode
ini ditawarkan oleh Bronsveld (1991). Metode ini memanfaatkan gambaran future
space hasil pengeplotan piksel-piksel pada saluran hijau melawan infaramerah
dekat dengan saluran merah melawan inframerah dekta.pertemuan kedau garais ini
diasumsikan harus bertemu di titik asal ( 0,0) yaitu untuk objek air jernih,
tenang, dan dalam atau objek bayangan lereng yang sangat curam. Apabila
ternyata titk pertemuan ini tidak pada ordinat (0,0) maka nilai offset pada
kedua saluran dapat dihitung.
d.
METODE KALIBRASI BAYANGAN
Secara
ringkas metode ini mempertimbangkan immbnagan energy elektromagnetik yang msauk
ke atmosfer bumui serta kenampakan permukaaan bumi yang tetutup bayangan.
e.
KALIBRASI RELATIVE ANATRCITRA
Kadang
kala suatu penelitian pengindraan jauhmemerlukan data multitemporal bahkan
bukan hanya dua atau tiga tanggal melainkan bisa lebih dari itu. Analisis
spectral citra memerlukan informasi lengkap mengenai parameter –parameter
radiometri sensor dan saat perekaman. Kalibrasi relative merupakan proses
pengubahan nilai piksel dari satu atau bebrapa data digital citra, dengan
mngacu pada nilai piksel untuk objek yang sama pada citra yang berbeda; baik yang
dihasilkan pada waktu yang berbeda, oleh sensor yang berbeda, maupun kombinasi
keduanya.
f.
KALIBRASI DENGAN DATA DARI LUAR CITRA
Penggunaan
metode-metode koreksi atau kalibrasi yang telah dijelaskan pada bagian
terdahulu kadang-kadang masih menyisahkan masalah. Misalnya pengkaitan anatra
suatu nilai piksel dengan nilai kondisi biofisisk tertentu kadang kala menurut
informasi yang lebih akurat pula kebutuhannya bisa lebih dari itu, misalnya
hingga informasi tentang beberapa besar energy yang dipantulkan oleh objek di
permukaan bumi sebelum bercampur edngan
tambahan informasi spectral dari radiansi ketika data nilai sspektral citra
perlu dibandingkan dengan data hasil pengukuran radiansi spectral lapangan.
a. KALIBRASI
BERBASIS DATA EMPIRIS : PENYESUAIAN REGRESI BEBRBASIS DATA SPECTRAL LAPANGAN
Teknik koreksi radiometri dengan
menggunakan data empiris hasil pengukurn lapangan juga bisa diterapkan dengan
penyesuaiana regeresi. Teknik ini memanfaatkan data spectral hasil pengukuran
spektro meter di lapangan untuk objek yang sama pada citra. Hasil pengukuran
lapangan dinyatakan dalam pantulan permukaan sementara data citra diubah ke
radiansi spectral
b. KOREKSI
PENGARUH POSISI MATAHARI
Posisi matahari berpengaruh pada respons
spectral objek yang tercatata oleh sensor. Dua macam citra wilayaah yang sama
namu diperoleh atau direkam dengan posisi matahari yang berbeda akan memberikan
informasi spectral yang berbeda ntuk objek yang sama.
Rumus ini dapat digunakan untuk
mengkalibrasi citra berbagai tanggal atau sensor.
c. KALIBRASI
SENSOR RADIANSI YANG TERCATAT OLEH SENSOR
Seperti yang telah disinggung pada
bagian erdahulu nilai piksel yang sama pada citra yang berbeda, misalnya
berbeda saluran, sensor, ataupun tanggal perekaman, tidaklah secara lnangsung
menggambarkan kekuatatn energy pantulan atau pancaran yang sama yang tercatata
oleg sensor. Setiap sensor dan detector dirancang denga kepekaan tersendiri dan
ditunjukan oleh kemampuna mendeteksi radiansi spectral minimum maupun maximum
dari objek atau target
Contoh tersebut berlaku untuk Landsat. Untuk SPOT,
perhitungannya menjadi lebih sederhana dalam bentuk :
Dimana nilai Gain diperbarui secara regular,
mengingat bahwa detector mengalami perubahan kepekaan seiring dengan waktu.
Pada kasus, header
citra yang disertakan dalam pembelian citra kadang-kadang menyertakan nilai
radiansi spectral minimum dan maksimum (LϮ(min)
dan LϮ (maks) agar
analisis atau pengguanaan bisa melakukan proses koreksi atau kalibrasi sendiri
sesuai dengan rumus yang digunakan. Dalam banyak kasus yang lain, data yang
diberikan oleh vendor biasanya menyertakan nilai Gain. Kalau tidak analis citra
dan penggunaan bisa mengunjungi situs yang sesuai untuk memperoleh nilai Gain.
Masalahnya satuan juga yang diperhatikan agar tidak terdapat kesalahan dalam
perhitungan.
Hal
lain yang perlu diperhatikan adalah kenyataan bahwa dalam proses perekaman
kadang-kadang citra tersaji dengan kecerahan yang sangat tinggi atau sangat
rendah. Untuk mengoreksi citra dengan kecerahan yang sangat rendah, nilai low
gain dari operator bisa digunakan, sementara apabila citra terlihat sangat
cerah, nilai high gain yang digunakan. Dalam beberapa kasus, nilai gain hanya
dinyatakan untuk satu kondisi saja dan kadang-kadang juga untuk banyak kondisi,
seperti misalnya ASTER VNIR dan SWIRN
d. Koreksi
Pengaruh Atmosfer
koreksi
berbasis pemodelan efek atmosfer telah dikembangkan oleh beberapa peneliti.
Salah satunya adalah model 5s ( simulation of the sensor signal in the solar
spectrum ) yang dikembangkan oleh Tanre.et al. (1986,1990) dan kemudian
diperbaiki menjadi model 6s (second simulation of the sensor signal in the
solar spectrum) (vormote et al. 1997). Model – model ini mampu mensimulasikan
permukaan non lambertian untuk memodelkan sinyal yang diukur oleh sensor.
Dalam
model ini ada asumsi bahwa satu paket irradansi matahari utuh datang mencapai
bagian teratas atmosfer. Sebagaian dari irradansi yang datang kemudian
dihamburkan di sepanjang jalur antara matahari dari objek di permukaan bumi ke
atmosfer, sementara sisanya radiasi matahari langsung. Bagian yang diteruskan
dan mencapai permukaan objek/target dirumuskan sebagai berikut:
Rumus
Di mana Ϯ adalah
kedalaman optis, θ adalah sudut zenith matahari.
Sementara itu, sebagian dari radiasi matahari yang
dihamburkan ke atmosfer juga memberikan sumbangan iliminasi pada target objek
di permukaan bumi. Di rumuskan sebagai berikut :
Rumus
Disamping itu ada juga kontribusi hamburan yang
perlu dipertimbangkan yaitu, disebut dengan mekanisme jebakan. Efek mekanisme
ini terkait dengan pantulan dan hamburan
radiasi metahari yang berturut – turut target dan atmosfer, yang di
antara objek disekitar permukaan target dan atmosfer yang menyebabkan radiasi yang
tercatat kemudian merupakan incident upon the graound target. Dengan demikian iluminasi pada target di
permukaan bumi menjadi
Dan proposi radiasi matahari yang dipantulkan dari
target di permukaan bumi menjadi
Karena sensor menerima refleksi dari dua macam
sumber, yaitu kontribusi dari radiasi matahsri keseluruhan yang diberikan oleh
target di permukaan bumi dan langsung ditransmisikan dari permukaan objek ke
sensor, serta sumbangan dari objek di sekitar target yang dihamburkan ke
sekitar medan pandang sensor maka rumusnya adalaha :
Akan tetapi perlu pula diperhatikan bahwa sensor
sebenarnya juga menerima sebagian dari radiasi matahari yang telah dihamburkan
ke medan padang sensor, tanpa berinteraksi dengan target di permukaan bum.
Selanjutnya adanya interaksi atmosfer yang kedua
yaitu proses serapan perlu dipertimbangkan. Pada spectrum optic dari matahari,
penyerapan atau absorbs oleh gas – gas di atmosfer pada dasarnya terkait dengan
keberadaan ozon. Maka persamaan menjadi
:
e. Kalibrasi Sensor:
Pantulan yang diterima sensor (At-Sensor Reflectance)
hasil kalibrasi sensor untuk memperoleh nilai
radiasi spectral LϮ (rumus 5,22 dan 5,23) sebenarnya
adalah nilai energy yang dicatat oleh sensor (apparent radiance), yang
merupakan kombinasi dari pantulan objek ditambah gangguan atmosfer yang sampai
ke sensor. Itu sebabnya hasil kalibrasi ini juga sering disebut sebagai at
sensor radiance atau at-sensor reflenctance atau at-satelite reflentance.
Rimus
f. Kalibrasi
Berbasis Model Transfer Radiasi (Radiative Transfer Model)
kebanyakan model koreksi atau kalibrasi citra
dilakukan secara manual- dalam arti perangkat lunak menyediakan semacam image
calculator yang secara fleksibel dapat dimanfaatkan untuk berbagai operasi
metematis dengan memasukan nama berkas citra atau salah satu/beberapa
salurannya, nilai koofisien atau konstanta, serta operator matematis, misalnya
fungsi-fungsi trigonometric dan logaritma melalui cara tersebut, dimasukan
berbagai parameter yang diperlukan untuk mengambarkan karakteristik hamburan
dan serapan yang terjadi di atmosfer pada tanggal dan waktu tertentu.
Algoritma model transfer radiasi untuk koreksi
pengaruh atmosfer dapat melakukan hal seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
dengan lebih baik. Menurut Jensen (2005) syarat yang harus dipenuhi adalah
penggunaan memasukan informasi karakteristik fundamental atmosfer ke program,
dan terdapat saluran spectral yang peka terhadap serapan serapan atmosfer.
Beberapa informasi umum yang diperlukan oleh algoritma koreksi atmosfer
berbasis transfer radiasi misalnya :
-
Posisi lintang bujur liputan citra
-
Ketinggian perekaman (ketiangian sensor
dan wahana) di atas permukaan medan
-
Elevansi rerataan liputan citra
-
Model, atmosfer misaknya wilayah tropis,
lintang sedang di musim panas lintang sedang dimusim dingin
-
Data radiasi spectral citra yang telah
dikalibrasi secara radiometri (misalnya data harus diproses dan disajikan dalam
satuan W m-2
m sr-1
![](file:///C:/Users/ejon12/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image089.png)
-
Informasi tentang setiap saluran secara
spesifik
-
Kejernian atmosfer setempat (local atmospheric
visibility) pada waktu perekaman
Berdasarkan informasi tersebut maka
program akan melakukan komputasi karekteristik serapan dan hamburan pada saat
perekaman. Data serapan dan hamburan kemudian digunakan untuk melakukan inversi
nilai radiansi spectral tiap piksel ke pantulan permukaan yang telah diskalakan
(scaled surface reflenctance). Beberapa contoh program pemodelan transfer
radiasi misalnya : ,MODTRAN 4+, ACORN, ATREM, FLAASH, dan ACOR.
Beberapa rumus model – model transfer
radiasi disajikan menggunakan kode transfer radiasi sebagai berikut :
Ø ACORN
( atmospheric correction now), program ini menggunakan kode transfer radiasi
dari MODTRAN-4 dan dikembangkan oleh Chandrasekhar (1960 dalam Jesen 2005).
Ø ATREM
(atmospheric removal program ) yang di kembangkan oleh center for the study of
earth from space (CSES). ATREM mempertimbangkan jimlah hamburan reyleigh yang
masih ada dalam model 6s. serta model aerosol yang dispesifikasikan oleh
pengguna. Program ini melakukan kalkulasi suku/komponen serapan atmosfer dengan
menggunakan model spectral saluran sempit malkumus berdasarkan atmosfer standar
yang dipilih oleh pengguna, misalnya temperature, tekanan udara serta
distribusi vertikal uap air.
Ø FLAASH(
fat line-of-sight atmospheric analysis of spectral hypercubes) dikembangkan di
perangkat lunak ENVI, oleh spectral sciences inc. bekerja sama dengan
laboratorium riset angkatan udara. Program FLAASH mengoreksi citra dengan cara
menekan atau menghilangkan efek uap air, oksigen, karbon dioksida dll. Koreksi
ini diterapkan pada setiap piksel.
Ø ATCOR,
pada walnya program ini dikembangakan di jerman.
DAFTAR
PUSTAKA.
Danoedor,
Projo. Pengantar Penginderaan Jauh Digital.-Ed.1.-yogyakarta: ANDI. 2012